Hari-hari ini, Hercules (preman bawaan Prabowo dari palagan Timor-Timur) memunculkan taringnya. Setelah membentuk Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) memamerkan praktek teror dan mengancam setiap orang, termasuk aparatur negara dan kumpulan para pensiunan tentara. Khalayak dibuat geger, sejumlah pensiunan jenderal berteriak keras (seolah kemunculan organ-organ yang diperkuat para jagoan itu bukan salah mereka).
Dalam sejarah kita, soal kumpulan preman yang “dipelihara” lalu dijadikan alat pemukul, bukanlah hal yang asing. Tujuh puluh delapan tahun lalu, guna mematikan perlawanan para revolusiener Republik, Letnan Dua Koert Bavinck dari Unit Intelijen Divisi 7 Desember pernah pula menggunakan jasa para preman bumiputera di wilayah Jakarta-Bekasi dan Karawang. Kumpulan para preman yang dipersenjatai itu diberinama HMOT (Pasukan Non Organik Milik Sang Ratu), tentunya Ratu Belanda.
HMOT dipimpin seorang preman Betawi bernama Panji, eks centeng di wilayah Meester Cornelis (Jatinegara). Menurut jurnalis Alfred van Sprang, kendati bertubuh kecil namun sosok Panji sangat dihormati para pengikutnya.
“Dia memiliki sorot mata tajam yang menuntut kepatuhan dari orang-orangnya…” ujar jurnalis perang terkemuka Belanda tersebut.
HMOT dipuji habis pihak Belanda, ketika mereka terlibat aktif dalam Operasi Produk menduduki Bekasi dan Karawang pada 22 Juli 1947. Setelahnya, aksi mereka pun semakin menggila. Entah berapa ratus pejuang Republik yang telah berhasil dibunuh dan diringkus oleh para “herder Belanda” itu.
Namun tak selamanya, militer Belanda membutuhkan mereka. Terlebih ketika posisi HMOT mulai menguat dan beberapa anggotanya kerap terlibat bentrok dengan para serdadu reguler Belanda dan melakukan desersi dengan membawa persenjataan lengkap. Tidak sampai setengah tahun, pada Desember 1947, riwayat HMOT tuntas begitu saja.
Sebelum dibubarkan, Panji sendiri raib tak tentu rimbanya. Ada isu beredar bahwa dia dihabisi agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) secara diam-diam di suatu tempat. Sementara versi lain menyebutkan, dia ditembak mati oleh satu unit khusus TNI (Tentara Nasional Indonesia) karena dianggap sudah berdosa menyebabkan kematian para pejuang Republik. Soal terakhir itu dibenarkan oleh sejarawan Rushdy Hoesein.
“Saya pernah mendengar dari Pak Lukas Kustarjo (eks pimpinan TNI di Karawang-Bekasi) bahwa dirinya pernah ditugaskan oleh Letnan Kolonel A.E, Kawilarang untuk mencari Panji dan menghabisinya,” ujar Rushdy.
Sepeninggal Panji, eks anggota HMOT kemudian menyebar kembali sebagai kekuatan liar di sepanjang tapal batas Jakarta (Klender, Cakung, Kranji dan Bintara). Sebagian ada yang membentuk kelompok bandit bersenjata yang beroperasi sepanjang Karawang-Bekasi dan sebagian lagi memutuskan untuk memasuki kembali dunia lamanya di wilayah keramaian: menjadi preman dan tukang copet… (hendijo)
Milisi HMOT, dalam suatu upacara siaga di lepangan dekat Cilamaya (foto milik Arsip Nasional Belanda)