"Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa dan Sahabat Para pejuang Indonesia"

" Selamat Datang di Website Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)"

Tampilkan postingan dengan label PEJUANG TERLANTAR DI INDONESIA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PEJUANG TERLANTAR DI INDONESIA. Tampilkan semua postingan

inilah dia "Sin Nio" , Prajurit Pejuang TNI yang “Dibuang” Karena keturunan Tionghoa

Kisah "Sin Nio" , Prajurit Pejuang TNI yang “Dibuang” Karena keturunan Tionghoa 

Perempuan Tionghoa ini adalah pejuang kemerdekaan Indonesia asal Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau ikut bertempur melawan Belanda dan bergabung dalam Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18, di bawah komando Sukarno (terakhir berpangkat Brigjend dan pernah menjadi Dubes RI untuk Aljazair).

Sin Nio adalah satu-satunya prajurit perempuan dalam kompi tersebut.
Semasa berjuang, Sin Nio pd awalnya hnya bermodalkan senjata sederhana berupa golok, bambu runcing & tombak Sampai akhirnya suatu ketika gadis pejuang tsb berhasil merampas senapan jenis LE dri pihak Belanda.

Dari bagian tempur, kemudian Sin Nio dipindahkan kebagian perawat atau palang merah, karena ada kekosongan juru rawat, padahal banyak sekali pejuang yang terluka dan butuh perawatan medis. Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik.

Setelah kemerdekaan dan kondisi negara mulai aman, srikandi ini memutuskan menikah dan akhirnya memiliki enam anak dari dua orang suami, yang keduanya berakhir dengan perceraian. 
Sebagai janda dengan enam anak, tentu hidup Sin Nio sangatlah berat

dan hal ini membulatkan tekad keberangkatan dirinya dari Wonosobo ke Jakarta. Keputusan ini juga diakibatkan oleh karena pejuang ini tak mendapatkan pensiun, yang semestinya adalah haknya sebagai pejuang kemerdekaan. Keberangkatan nya ke Jakarta untuk mengurus hak pensiunnya.

Saya menduga ini karena Sin Nio berasal dari etnis Tionghoa, sehingga pensiunnya dipersulit
1973, pejuang ini sampai di Jakarta dan menumpang tinggal selama sembilan bulan di Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia di Jalan Gajah Mada.

Kemudian setelah itu beliau terpaksa hidup menggelandang di ibukota, satu pilihan menyedihkan bagi seorang pejuang bangsa, bayangkan perempuan pejuang berusia sekitar 60 tahun harus hidup menggelandang di kerasnya ibukota. Kehujanan kepanasan tanpa tempat tinggal yang jelas.

Perjuangan panjang akhirnya pada tanggal 29 Juli 1976, Sin Nio berhasil mendapatkan pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Surat Keputusan pengakuan The Sin Nio dikeluarkan oleh Mahkamah Militer Yogyakarta.

SK ini ditandatangani oleh Kapten CKH Soetikno SH dan Lettu CKH Drs.Soehardjo, juga sebagai saksi mata ditandatangani ooeh Mayor TNI-AD Kadri Sriyono (Kastaf Kodim 0734 Diponegoro dan Dr R.Brotoseno (dokter militer pada Resimen 18 Divisi III Diponegoro.

Tragisnya, SK tersebut tidak diiringi dengan hak pensiunnya. Sehingga Sin Nio tetap hidup sebagai gelandangan. Beliau hidup menggelandang di seputaran pintu air tak jauh dari mesjid Istiqlal Jakarta.

Uang pensiun sebesar Rp 28.000,- per bulan akhirnya dapat diperoleh beberapa tahun kemudian. Tapi uang sebesar itu tak mampu mencukupi kebutuhan lainnya, sehingga Sin Nio hanya bisa tinggal di gubuk tanah pinggiran rel kereta api milik PJKA.

The Sin Nio bersikeras tak mau plg lagi ke Wonosobo, bahkan dia tak prnh lupa utk tetap mengirimkan uang kepada anak cucunya di kampung halaman. “Saya tak mau merepotkan anak cucu saya, biarlah saya hidup sendiri di Jakarta, meski dlm tempat seperri ini!” . Jiwa pejuang sejati!

Pernah ada janji dari Menteri Perumahan, Cosmas Batubara, bahwa Sin Nio akan diberikan rumah di Perumnas. Tapi janji tinggallah janji.Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.

The Sin Nio telah mempertaruhkan nyawanya diujung peluru demi tegaknya kemerdekaan Indonesia, tapi apa balasan yang didapatnya?
Tak diketahui, bagaimana kisah akhir kehidupan pejuang bangsa ini, apakah kemudian beliau menghilang begitu saja

atau dia menghindar dari kita bangsa Indonesia, dan berucap :

“Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!”



 

Share:

EYANG SELAMET PEJUANG TERLANTAR DI MUARA GEMBONG BEKASI


EYANG SELAMET PEJUANG TERLANTAR DI MUARA GEMBONG BEKASI
Share:

PAK OPUNG PEJUANG TERLANTAR DI KOTA BOGOR


Liputan Heri Eriyadi (Founder KCPI)

Siapa sangka seorang Kakek tua yang sehari-hari menjadi pengumpul botol bekas air mineral di Sekitar Kota bogor ini ternyata pernah aktif sebagai tentara dan berpangkat seorang Sersan, Tepatnya Sersan Dua pada masa peristiwa Permesta. tahun 60 an

Pak OPUNG asli dari medan, Sumatra utara. bernama asli Antoni Simanjuntak, berhasil diwawancari oleh KCPI pada satu tempat di Kota Bogor.

Fisiknya yang kuat dan tatapan mata yang tajam meskipun beliau sudah berusia hampir 80 tahun tidak mampu menutupi kenyataan bahwa pak Opung adalah seorang tentara.

tentara yang menurutnya pada waktu itu, tidak di gaji, karena hanya sukarelawan. tapi tetap resiko gugur di medan tempur.

karena terdesak dengan kebutuhan hidup akhirnya beliau lepas dari dinas tentara dan menjadi warga biasa sebagai pengemudi Bus lintas Sumatra antar kota Medan-Jakarta. hingga akhirnya sempat menetap di terminal bis kampung rambutan.

hari ini beliau hidup dalam kondisi memprihatinkan. makan sehari hari dari hasil mengumpulkan botol bekas air mineral untuk di jual. mau tau berapa pengasilan nya ? kalau sedang banyak ya 15 rb sehari dari pagi sampai sore dengan cara keliiling di sekitar kota bogor !

apakah ini disebut sejahtera ? janganlah kita bicara penghargaan jika kesejahteraan saja tidak didapat dari negara untuk beliau yang secara  fakta sudah ikut membela bangsa dan negara berkorban jiwa dan Raga.

liputan akan berlanjut di lain hari...

salam KCPI ✊
Share:

PAK SA’AMIN MANTAN JURU MASAK KOPASKA TNI AL

PAK SA’AMIN MANTAN JURU MASAK KOPASKA TNI AL

Salah satu saksi Perjuangan bangsa Indonesia kembali telah berhasil di temukan oleh KCPI pada awal tahun 2018 ini. Menambah panjang daftar para pejuang terlantar yang perlu diberikan perhatian oleh kita semua.

Pak Sa’amin kakek yang sudah tua kelahiran Jakarta tanggal 13 April 1941 pada beberapa waktu telah bersedia menceritakan pengalaman hidupnya Kepada KCPI : 

Pak Sa’amin saat ini. hidup sebatang kara sejak istrinya meninggal dunia. Beliau sudah tidak bekerja, Kebutuhan sehari hari beliau berupa makan dan tempat tinggal di jamin oleh dua orang anaknya. Kakek berusia 77 tahun ini hidup sendiri di rumah petak yang sempit di kawasan Cipadu Kota Tangerang Selatan. Banyak masyarakat sekitar yang tidak tau siapa pak Sa’amin hingga ditemukan oleh tim KCPI.

Pak Saamin awalnya adalah seorang tukang sol yang mengembara hingga ke kepulauan Bangka Belitung. Pada saat itu sedang terjadi peristiwa Pemberontakan PERMESTA. Para tukang sol teman Pak Sa’amin pada masa itu dikenal dekat dengan TNI hingga seringkali mendapat tugas khusus dari TNI agar menjadi mata-mata sebagai informan militer dan masuk kedalam sarang pembeontak PERMESTA yang ada di atas gunung.

Pak Sa’amin pada waktu itu pernah mengingatkan kepada teman-teman nya sesama Tukang Sol agar jangan menerima tugas itu karena sangat berbahaya Resikonya nyawa sebagai taruhan nya. Tapi dua orang teman nya menerima dan melaksanakan tuagas naik ke gunung. Al hasil, dua orang temannya dikabarkan gugur dan tidak pernah kembali lagi hingga sekarang. 

Pak Saamin yang selamat karena tidak ikut naik ke gunung akhirnya kembali ke Jakarta dan di terima sebagai pegawai juru masak di dapur umum Satuan Komando Pasukan Katak (KOPASKA) TNI AL yang sedang berlatih perang di Kepulauan Seribu. Selama sebulan pak saamin bertugas disana dan baru kembali ke darat setelah latihan Selesai.

Tugas Pak Sa’amin waktu itu adalah bangun pagi jam 2 menyiapkan bahan yang akan dimasak bersama teman teman nya dan di awasi langsung oleh atasan nya seorang Kopral TNI AL. mereka mengolah makanan dalam jumlah yang besar untuk konsumsi KOPASKA berupa ekstrapuding berupa Nasi, Telur, susu, roti, sayur dan Buah.

Pada Saat itu meskipun tugasnya adalah hanya seorang juru masak tapi mereka tetap di beri senjata jenis Laras panjang untuk menjaga diri bila suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan dalam kondisi pertempurna. Pak Saamin bertugas sebagai juru masak di lingkungan militer hingga tahun 1966 terakhir di Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL) di Cipulir  Kebayoran Lama Jakarta Selatan.

Selesai Tugas di SESKOAL pak sa’amin kembali menjadi rakyat biasa dan di tugaskan oleh pemerintah sebagai anggota Pertahanan sipil (HANSIP). Pada masa itu sedang bergejolak peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Maka setiap anggota HANSIP diberikan kemampuan militer berupa teknik menyerang dan menembak oleh Satuan TNI AD. Tujuan nya adalah mempersiapkan rakyat untuk membasmi G30S/PKI. Tapi sayang belum sempat dilaksanakan, pak Harto sebagai PANGKOSTRAD bersama dengan prajurit TNI AD dibawah pimpinan nya saat itu sudah lebih dulu membasmi PKI.

Kini semua tinggal kenangan buat pak Sa’amin karena teman-teman nya sudah banyak yang tua dan kemungkinan sudah meninggal dunia. Hanya 2-3 orang yang masih hidup hingga saat ini. Itupun tidak tau dimana adanya katanya.

Pak Sa’amin berharap agar pemerintah tidak melupakan begitu saja jasa yang pernah dilakukan beliau dan teman teman nya. Beliau bilang, selama menjadi pegawai di lingkungan TNI AL tidak pernah diberikan gaji sebagai ganti tenaga yang sudah dikeluarkan nya.

Pak Sa’amin sekarang sudah tua hidup sendiri dan tidak punya kasur untuk sekedar tidur dan istirahat dihari tuanya. beliau berharap masih ada masyarakat dizaman ini yang peduli dengan kondisi orang-orang tua yang pernah berjuang untuk bangsa ini. 

Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI) bekerja 24 Jam sehari baik secara online maupun offline . Sejak tahun 2011 hingga hari ini. KCPI membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk Kegiatan Sosial dan Operasional. Bantuan donasi anda dapat di kirim ke : No Rekening Bank BCA : 3452-157-362 a.n Heri Eriyadi Safitri (Founder KCPI)

Share:

Ada satu kelompok yang masih belum banyak dikenal oleh masyarakat yaitu pejuang

"Ada satu kelompok yang masih belum banyak dikenal oleh masyarakat yaitu pejuang. Pejuang disini adalah tentara yang diambil dari rakyat biasa dan rela ikut membantu perang di Indonesia serta mereka ingin mendapatkan hak mereka kembali,"

Jakarta, Aktual.co — Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI) meminta masyarakat untuk turut membantu dalam memberi perhatian bagi pejuang Indonesia agar tidak ada lagi pejuang yang merasa dilupakan atas jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada bangsa.

"Ada satu kelompok yang masih belum banyak dikenal oleh masyarakat yaitu pejuang. Pejuang disini adalah tentara yang diambil dari rakyat biasa dan rela ikut membantu perang di Indonesia serta mereka ingin mendapatkan hak mereka kembali," ujar Pendiri KCPI, Heri Eriyadi kepada Antara, Jumat (15/8), Jakarta, sehubungan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-69.

Heri menyatakan bahwa pejuang yang KCPI lindungi adalah golongan rakyat sipil, seperti petani, guru, dan nelayan, yang hatinya tergerak untuk menjadi "tentara rakyat", tanpa dibekali ilmu perang, seperti menggunakan senjata, cara bertahan dan menyerang.

"Salah satu bukti bahwa semua unsur masyarakat kita ikut perang adalah patung tani, dimana seorang petani yang memegang senjata dan wanita yang memberi makanan ini menceritakan keterlibatan masyarakat biasa dalam perang kemerdekaan Indonesia," ujar Heri.

Heri menambahkan bahwa berdasarkan survei yang telah dia pelajari, sembilan dari 10 orang yang berjuang pada saat perang adalah rakyat, artinya sembilan adalah rakyat biasa dan satu orang adalah tentara.

Dia menambahkan bahwa ada perbedaan antara pahlawan, veteran dan pejuang. Pahlawan adalah status yang diberikan oleh pemerintah terhadap rakyat Indonesia yang berani berjuang demi Indonesia, veteran adalah tentara aktif yang berjuang pada perang dan sudah pensiun, serta pejuang adalah rakyat sipil yang ikut berjuang seperti petani, nelayan, dan guru.

KCPI berharap generasi muda tidak hanya mempelajari nama-nama pahlawan yang hanya ada di buku-buku dan berharap generasi muda juga mengetahui bahwa banyak nama-nama yang terlibat dalam perang yang belum mereka ketahui.

"Anak sekarang lebih sering dilatih untuk mengingat nama-nama pahlawan yang ada di buku saja, padahal masih banyak yang harus diingat oleh kita salah satunya pejuang. KCPI disini berusaha untuk mengangkat kembali pejuang yang dilupakan," ujar Heri.
(Ant)

Share:

Sang letnan itu kini mengemis (1)


SENIN 28 Juli 2008, Simpang Potong, Kota Padang. Sebentuk tubuh tua ringkih, tampak terduduk lesuh. Tanpa alas di atas trotoar berwarna coklat. Tubuhnya hanya terbungkus kemeja buram. Kepalanya, juga tertutup kopiah hitam yang tampak sudah digerogoti usia. Kopiah itu, seolah setia menutupi rambutnya yang memutih.

Lelaki tua itu bernama Anwar berumur 94. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar. Wajahnya keriput, dipenuhi bulu-bulu kasar berwarna abu-abu. Dengan gigi yang hanya tinggal dua, mulut Pak tua tampak komat-kamit, menyeringai. Sesekali, tangannya menengadah, pada setiap manusia yang berlalu. Berharap belas kasihan dan secarik uang untuk pengisi perutnya yang mulai minta diisi. Namun semua tampak acuh. Anwar tak putus asa, tangannya semakin dijulurkan.

Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang di rumah warga Koto Baru, orang yang berbaik hati menampung tubuh ringkihnya. Hidup sendirian di hari tua ternyata membuat Anwar harus mengalah pada kerasnya dunia. 10 tahun sudah Anwar jadi pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah cara Anwar bertahan hidup. Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada yang bisa dikerjakannya. Tulangnya rapuh.

Jangan tanyakan keluarga pada Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis. “Saya tak punya keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi,” terang Anwar. Air mata bening menjalar di pipi keriputnya.

Tak seperti pengemis lainnya, yang kebanyakan terbelakang dan tak pernah mengenyam pendidikan. Anwar lain. Tiga bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda dikuasainya. Bahkan waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan berbahasa Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan sudah biasa melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.

Semakin penasaran dengan “Pak Tua Simpang Potong” itu, Penulis pun mulai menjejeri langkah Anwar. Mencoba mengorek lebih dalam tentang dirinya. Siapa gerangan Anwar, sudah rapuh tapi kuasai tiga bahasa? Ada sesuatu cerita tersembunyi dari lembar hidup Pak tua dan itu membuat hasrat penasaran penulis kambuh!. Dua hari menyatroni Anwar di simpang Potong, akhirnya Penulis tahu kalau Anwar bukan pengemis sembarangan. Catatan sejarah terpampang dari celoteh Pak Tua itu.

Memang sekarang Anwar hanyalah pengemis tua yang menyedihkan. Hidupnya tak tentu arah. Tapi, jika merunut sejarah “tempoe doeloe” Anwar adalah pemuda gagah yang ikut mengokang senjata melawan para penjajah. Pangkat yang disandang Anwarpun tak main-main, Letnan Satu, Komandan Kompi 3 Sumatra Bagian Selatan. Itulah daerah Anwar waktu menjabat sebagai serdadu bangsa untuk mengusir penjajah. Bukankah luar biasa “si Anwar Muda”?.

“Saya bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan saya menjadi komandan Kompi 3 untuk berpetualang, melintasi medan demi menyerang Belanda. Tak terkira berbagai kisah pilu yang saya alami saat perang bergejolak. Tapi, untuk bangsa itu semua belum apa-apa. Hanya satu hal yang membuat kami bangga waktu pulang dari medan perang. Bangga jika membawa topi serdadu Belanda, itu jadi kebanggaan tersendiri dan membuat kita merasa terhormat,”ulas Anwar menatap kosong.

Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang Presiden). Waktu itu hari masih pagi. Bangsa kita baru saja membuat perjanjian dengan Belanda (Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke Posko,” terang Anwar.

Bukan sekali Anwar kena tembak, bahkan, pengap dan lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali Anwar rasai. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang bergejolak. Tapi sial, melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih terbalut secarik kain yang menutupi lubang timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.

Di Panjang Panjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh tentara Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai minum air kencing “sang meneer” pun hampir tiap hari menyinggahi kerongkongan Anwar. Namun Sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tetap tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tak pernah berhenti.

“Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat berduri, kaki di ikat dengan rantai yang diberi golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di campur kencing,”celoteh Anwar.

Soal Nasiolisme, Anwar bak “Si Naga Bonar” walau tua tapi kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya belanda, apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya sekedar kedudukan dan jabatan semata?. Saya jawab aja apa adanya, “Aku berjuang untuk Negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati di sini. Aku bangga, karena itu demi negara,”ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup yang masih segar dalam ingatannya.

Kemerdekaanpun sepenuhnya diraih Indonesia. Namun tak begitu bagi Anwar, tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seorang Anwar seakan dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita eforia kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemispun jadi pilihan terakhirnya.

Tak ada tanda jasa, tak ada lencana penghormatan yang diterima Anwar dari Pemerintah. Bahkan gelar pahlawan veteranpun tak singgah pada Anwar. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, angkatan saya yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang dan menjalani masa tuanya dengan glamauran harta. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang memandang saya hina. Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa ini merdeka,”jawab Anwar tegar, segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL-Mubarah, Sawahan.
Hari ini , Jumat (1/8) Penulis kembali berniat menemui Anwar. Namun, “Sang Letnan” menghilang dari Simpang Kandang. Dua onggok batu yang biasanya jadi sandaran Anwar kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal hari masih pagi, jarum jam baru berada di angka sembilan. Kemana Anwar?.

Kecewa dengan hilangnya Anwar, penulis mencoba menelusuri RTH (Ruang Terbuka Hijau) Imam Bonjol. Tempat biasanya Anwar tidur ketika penat datang mendera tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek diantara rumpun hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan Anwar hari ini. Bajunya tak hanya buram seperti kemarin, tapi lebih parah, kemeja biru yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan tulang-tulangnya yang kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya kempis. Sandalnyapun berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas tali plastik warna putih.

Mencoba mendekat, ternyata Anwar tertidur. Dadanya terlihat turun naik beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin menonjol. Perlahan mata Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong. “Tadi Saya pingsan nak, perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa. Saya tak kuat berdiri. Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan pada saya. Membelikan saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih lemas,”erang Anwar lesuh.

Seperti sebelumnya, Walaupun tubuh rentanya masih lemah, Anwar tetap bercerita panjang lebar tentang kerasnya hidup yang dilewatinya selama 10 tahun hidup dijalanan. “Saya hanya kuat berdiri di simpang ini sampai pukul 11 siang. Tubuh ini sudah terlalu tua untuk lama-lama berdiri. Matahari terlalu garang. Berlainan benar waktu muda dulu, beratnya medan tempur selalu bisa saya taklukkan. Ah, sampai kapan tubuh ini bisa bertahan menunggu kepingan logam. Saya tak tahu,”Anwar menerawang.

Perlahan, rentetan-rentetan kehidupan Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar menguak tabir tersebut. Rupanya, Anwar juga pernah menjadi awak kapal barang berbendera Jerman. Lulus di Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi) tahun 1930. Anwar mulai berpetualang. Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat Pak Tua.

“Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas Kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang,”terang Anwar.

Anwar berpetualang, menyelusuri setiap pelosok Tanah Indonesia untuk berjuang mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya hanya bermodalkan bambu runcing. Anwar akhirnya mendapatkan senjata rampasan dari tentara Belanda. Senjata ditangan, Anwar muda mulai merengsek. Memuntahkan pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia.

“Pada awalnya tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun, dari tangan belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh senjata. Dengan itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai “cinderamata” dari medan tempur,”lanjut Anwar.

Hingga Akhirnya Indonesia merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa. Tentu, kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk Si Anwar yang berjuang di dua episode perang tersebut. Anwar bertarung dengan gagah. Namun apa yang didapatkan sang Letnan?. Hingga detik ini Anwar masih berstatus pahlawan bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang menyongsong hari tuanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis. Indonesia merdeka, namun Anwar masih tetap “terjajah oleh hidup”!!.

Memang, dulu Anwar pernah diberi secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai pejuang oleh Pemerintah. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat wasiat” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai Veteran.

“Memang dulu saya diberi surat oleh Pemerintah. Kalau tak salahnya surat Bintang Grelya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tpi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah. Hidup seperti roda nak. Kadang di bawah. Sekali lagi, saya berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa gangguan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia,”celoteh Anwar.

Letnan Kolonel Anwar, pahlawan bangsa kini tak ubah hanyalah tubuh tua dekil, tak ada yang peduli. Anwar semakin pupus di tengah sibuknya Kota Bengkuang. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya” kata Bung Karno. Namun itu hanyalah barisan kata, bukan kenyataan. Tak percaya? tanyakan itu semua pada Anwar. Pahlawan kita yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk bertahan hidup.Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin lupa juga akan nasib Sang Kapten.

Share:

Postingan Populer KCPI

Komunitas Cinta Pejuang Indonesia (KCPI)

KOMUNITAS CINTA PEJUANG INDONESIA (KCPI) “Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa & Sahabat Para Pejuang Indonesia.” http://www.kcpi.or.id

KOMUNITAS CINTA PEJUANG INDONESIA (KCPI) “Komunitas Penggiat Sejarah Perjuangan Bangsa & Sahabat Para Pejuang Indonesia.” http://www.kcp...